Monolog Harapan dan Kenyataan
Meski melakukannya tidak semudah menuliskan dan mengucapkannya, tapi aku berani bilang dan percaya bahwa jalan keluar terindah untuk semua ini adalah: ikhlas. Begitu kataku di salah satu tulisan yang aku buat tahun lalu. Masih aku lakukan sampai detik ini. Mencoba lapang dan berserah atas apa pun yang Tuhan tentukan. Meleburkan harapan sepenuhnya sampai hati ini tak tahu mau apa. Tapi aku manusia. Pernah hancur.
Jadi, entah mana yang namanya lembar terakhir. Hari ini atau hari esok? Apakah kita sudah benar-benar tertutup atau masih harus menunggu? Aku rasa kita pernah sangat terbelenggu. Apakah masih atau tidak? Aku tak pernah dapat ide pokokmu. Selalu bermain dan bersembunyi di balik kata-kata. Kita saling bersandiwara. Kita kehilangan makna. Terbuai dalam asa yang katanya mati, tapi hei aku tahu kau juga manusia. Kecewaku tidak sendiri. Kita tak pernah coba untuk duduk di meja yang sama, meluruskan sudut pandang agar senantisa seimbang. Bukan untuk mengotak ngatik jalan cerita yang sudah terlanjur hidup sekarang, tapi untuk kedamaian satu sama lain.
Terlalu rumit jika dijabarkan. Ini tidak sederhana bagiku. Tapi aku terus bermonolog, masih ada perasaan-perasaan yang mengacau. Aku tahu selalu ada alasan di balik terjadinya sesuatu. Pasti ada alasan mengapa kau tetap di jalan itu. Begitu pun aku yang memilih untuk seperti ini. Sebenarnya, banyak sekali yang dirasa belum usai. Banyak sekali yang ingin disampaikan. Banyak sekali yang dipertanyakan. Perihal kita. Seperti mengapa kau menjalani sesuatu yang menyakiti dirimu sendiri, menyakiti aku, menyakiti orang lain. Mengapa kau masih datang dan pergi. Mengapa sikapmu berbeda antara hari ini dan kemarin. Mengapa kau ucap hal yang tak berbanding lurus dengan kenyataan. Mengapa aku diam. Mengapa aku seolah menjauh. Mengapa kita terlihat tak saling peduli lagi. Aku yakin ada alasan. Aku yakin pula kita berasumsi.
Namun..... aku juga meyakini sesuatu yang lain. Apa mungkin pertanyaan-pertanyaan itu lebih baik tanpa jawaban? Meski sesungguhnya hati ini meminta untuk ditegaskan. Jujur atau tampar sekalian. Lebih baik jatuh ke jurang yang paling dalam bersama kejujuran, daripada berjalan terus tapi selalu tersandung kebohongan. Hati kita harus jujur. Dan pada kenyataannya, tidak pernah ada momen dan kalimat yang seberani, setegas, dan sejujur itu sejauh ini. Mungkin itu alasan mengapa kita masih terasa melayang bersama tanpa tahu bintang mana yang kita tuju. Tidak akan bertemu sampai kapan pun. Luar angkasa itu luas. Sampai akhirnya aku mencoba untuk mengabaikan walau sebenarnya tak benar-benar mengabaikan. Antara jera dan trauma. Terlalu dalam mencintai, terlalu pedih kehilangan. Hanya tak mau apa yang pernah terjadi terulang. Saling tersesat, saling menunggu satu sama lain, tapi saling menghindar. Yang pada akhirnya saling menyakiti. Padahal bukan itu maksudku.
Iya tidak perlu membicarakan soal luka. Salah satu alasan mengapa aku diam adalah luka ku di sini. Aku pelan-pelan menguburnya. Kau ingin cerita apa? Jangan sampai kau putar balikan fakta lagi. Seolah aku yang ingin dilepaskan, padahal kau tahu seberapa kuatnya pertahananku dulu. Itu semua pilihanmu yang tak pernah ku beri anggukan. Kebijakan yang kau rancang sendiri. I don't blame you but it was all your choice, it was all yours. Aku berhenti bertanya 'mau sampai kapan?'. Karena rasanya waktu mulai berbicara dan aku harus berbaik sangka. Lihat, kita yang sekarang sudah cukup jauh dan berbeda bukan? Masih rahasia, apa yang ada dalam benakmu. Kau pun tak tahu apa yang kini tersimpan dalam benakku. Tapi soal hal-hal tidak sederhana yang belum sempat terpecahkan ini, aku mohon... hari ini atau suatu hari nanti, jadilah yang paling jujur untuk hatimu sendiri. Dan aku tak akan mempermasalahkan pilihanmu lagi.
Hal lain yang aku yakini dalam jarak kita ini adalah, ada beberapa hal di dunia ini yang tidak bisa diperbaiki meski kita telah mencobanya dengan sangat keras. Ada beberapa hal di dunia ini yang tidak bisa berjalan dengan baik. Ada beberapa hal di dunia ini yang tak berpihak pada kita. Hanya karena memang tidak seharusnya. They are not destined for us. We need to walk on the other ways. Semesta tidak selamanya bergerak dengan kita. Hidup menuntut kita untuk tegar. Tinggal bagaimana cara kita menanggapi itu semua, cara kita menanggapi 'beberapa hal di dunia yang terkadang berjalan tidak sesuai' itu penting. Tapi perasaan kita yang diselimuti duka ketika merespon hal-hal mengecewakan tersebut itu normal. Reality doesn't always work as we wish. Bukan begitu?
Jakarta, 31 Mei 2018
PR
Jakarta, 31 Mei 2018
PR
Komentar
Posting Komentar