Memandang Awan yang Berjalan
I guess you've heard my songs~ |
Aku duduk di kursi kecil, di sudut keramaian. Gedung tinggi ini, kacanya berembun. Bogor habis diguyur hujan. Sekarang sudah reda, hanya saja di luar gelap. Langitnya abu pekat. Dari jauh tergambar jelas sebuah gunung yang dikelilingi awan-awan yang berjalan. Ku tengok ke bawah, daratan dipenuhi atap-atap rumah dan sesekali kendaraan lewat di depan pekarangannya.
Aku mendengarkan satu lagu yang baru ku unduh namun telingaku sangat menikmatinya hingga aku harus memutarnya berulang, sampai sekarang. Orang-orang di sekitarku tertawa, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Aku sedang menunggu yang tak kunjung datang. Ku pandang arloji dan kaca gedung ini lagi. Di luar sana, awan-awan masih berjalan pelan, beriringan.
Maka aku berbicara di sini, atas dasar hidup yang aku jalani hari ini, bahwa... benar, waktu berjalan. Bumi berputar. Kehidupan berubah. Orang-orang berubah. Alam berubah. Masa berubah. Jalanan berubah. Bangunan-bangunan berubah. Cerita berubah. Semua berubah. Tak ada yang konstan, tak ada yang tetap selamanya. 17:48 ku lihat sekumpulan awan di belakang gunung. 17:49 aku palingkan mata ke layar gawai. 17.50 sekumpulan awan itu berpindah. Posisi mereka berubah. Mereka terus berjalan. Entah kemana tujuannya.
Lalu mau apa dengan hidup ini jika kita hanya diam? Aku tau di hati kecil setiap manusia pasti ada rasa takut. Salah satunya adalah rasa takut akan perubahan. Tapi apa yang bisa kita (manusia) keluhkan? Semuanya harus melanjutkan hidup. Semuanya perlu bergerak. Aku tau beberapa dari kita punya luka, trauma, hari-hari bahagia, tahun-tahun penuh cerita. Di mana pun, bersama siapa pun, kita tidak bisa mengelak bahwa itu semua 'telah' terjadi. Setiap orang bisa membeli jam namun tidak bisa membeli waktu. Dan mungkin ada beberapa dari kita yang masih terjebak di waktu-waktu tertentu. Aku harap kita semua sadar bahwa perubahan itu nyata.
Awan-awan itu masih berjalan, meski perlahan, mereka tetap melanjutkan. Meski gelap, meski terang, meski panas, meski dingin, meski basah, meski kering... mereka berjalan, tetap berjalan. Maka aku rasa kunci untuk bisa bertahan dalam perubahan adalah: berjalan. Jangan berhenti. Hidup penuh untuk hari ini agar bisa merekam memori yang baik untuk hari esok. Hari kemarin? Semua sudah terekam dan terangkum dalam kisah hidup yang setiap orang punya.
Tapi terkadang waktu terasa bagai kilat. Begitu cepat. Satu, dua, tiga, lima, bahkan sepuluh tahun rasanya lewat begitu saja. Diri ini tetap sama, hanya saja apa yang dilalui sudah jelas beragam, penuh suka duka. Terkadang ingin meluapkan setumpah-tumpahnya, tapi tentu tidak bisa. Terkadang rasa dan cerita yang kita punya tidak bisa dibagi pada siapa-siapa. Maka entah mengapa aku lebih bebas mengatakannya dengan metafora ketimbang secara harfiah. Pesanku sekarang, berilah apresiasi untuk diri sendiri yang telah begitu hebat untuk berjalan sejauh ini. Mungkin kita pernah gagal, tapi kita juga pernah berhasil bukan? Ah. Dunia ini panggung sandiwara, katanya. Mainkan peranmu sebaik mungkin.
Yang sedang aku mainkan sekarang adalah peran seorang anak perempuan yang terus nan terus beranjak untuk menjadi dewasa. Aku sedang menghadapi masa transisi, lagi. Kali ini transisi untuk segala hal, ku rasa. Sejak dinyatakan lulus dari suatu perguruan tinggi, diri ini secara tidak langsung dituntut untuk berpikir dan berbenah, lebih jauh lagi. Banyak sekali perubahan yang tidak bisa aku jabarkan. Maka aku ingatkan lagi diri sendiri bahwa hidup ini tentang perubahan, ketidakpastian, dan kejutan. Aku, kamu, kita semua, tidak boleh berhenti berjalan.
Lihat, tak terasa jarum jam sudah berpindah tempat. Awan-awan belum lelah berjalan. Hari mulai gelap.
Sore di Kota Hujan, 15 Januari 2018
-PR
Komentar
Posting Komentar