Kisah Seorang Putri II
Pada suatu hari, seorang pangeran datang kembali ke istana. Sesampainya di istana, ia langsung menemui dan mengajak seorang putri ke suatu taman yang tak
terduga. Di sana ia meminta maaf karena telah meninggalkan putri untuk pergi ke
medan perang tanpa izin, sebab ia harus bertarung atas kesalahannya sendiri.
Setelah ia memenangkan mahkota kepercayaannya kembali, ia memutuskan untuk
pulang, dan di taman itu sang putri menyambutnya dengan sangat hangat. Sang pangeran
berkata bahwa ia sangat lelah berperang, ia berjanji tak akan meninggalkan
istananya lagi.
Siang berganti malam, malam berganti
siang. Terik matahari dan cahaya rembulan mereka nikmati bersama. Hari demi
hari mereka lalui tanpa ragu. Mereka tinggikan tembok-tembok istana agar tak
diserang musuh. Sang putri selalu setia dan mendukung apa yang pangeran
rencanakan. Ia selalu pastikan bahwa baju baja pangeran selalu siap untuk
berperang dan pedangnya selalu mampu membuat musuh ketakutan. Lebih dari itu,
pedang yang sang putri serahkan pada pangeran mampu menaklukan rasa takut
pangeran sendiri, membunuh ketidakpastian di masa yang akan datang. Sang putri
berkata bahwa pedang yang sudah mereka asah bersama adalah harapan, “harapan
adalah satu-satunya hal yang lebih baik dari rasa takut”.
Namun sayang, sang pangeran mendapat
bisikan bahwa ia harus keluar dari istana lagi untuk memastikan dirinya baik-baik
saja, untuk melindungi sang putri agar prajurit-prajurit jahat itu tak
menyerangnya nanti. Ada medan perang yang lebih layak ia sambangi daripada
menjaga keutuhan istana bersama sang putri. Dengan terburu-buru, pangeran pun
pergi, membawa pedang tanpa mengajak seseorang yang telah memberinya pedang
tersebut. Kata pangeran, sang putri akan lebih aman jika tetap tinggal. Kata
pangeran, ini semua demi kebaikan sang putri, kebaikan istana mereka. Awalnya
sang putri kebingungan, medan perang mana lagi yang hendak pangeran lumpuhkan.
Sebab tak bisa melawan, sang putri akhirnya melepas genggaman pangeran.
Beberapa minggu kemudian tersiar kabar
bahwa pangeran menemukan istana baru yang lebih kokoh, yang lebih aman untuk
singgah. Sang putri kecewa sebab nyatanya di istana yang mereka singgahi
sebelumnya tak terjadi apa-apa, tapi pangeran malah memilih untuk tinggal di
tempat lain, memastikan dan memantau bahwa semuanya baik-baik saja, katanya.
Pangeran kerap melayangkan surat-surat, mengirimkan pesan-pesan tersirat, dan
bahkan melakukan penyamaran untuk tetap bisa menjangkau sang putri. Hal ini dianggap mengganggu oleh orang-orang di istana barunya. Bahwa seharusnya benar,
pangeran sudah tidak ada urusan lagi dengan istana lamanya karena kini berkewajiban
untuk menjaga pertahanan istana barunya. Sang putri dinilai salah karena telah
memberikan celah. Nyatanya selama ini ia bungkam hanya untuk memastikan sang
pangeran selamat dan menghindari adanya perselisihan yang dapat menimbulkan
peperangan baru.
Hari di mana pangeran memutuskan untuk
pergi lagi, sang putri hanya bisa menangis. Sampai tiba hari-hari di mana ia
tahu bahwa sesungguhnya pangeran ingin pulang hanya saja ia tak bisa, atau mungkin
belum saatnya. Sang putri tetap diam menjaga semua rahasia demi keutuhan tempat
baru pangeran di sana, agar istana baru dan seisinya tetap sejahtera. Namun
terkadang tiba-tiba lukanya berbicara. Karena mungkin terkesan salah, selalu salah,
tiap kali pertemuan tiba-tiba atau puisi-puisi yang mereka terbitkan di surat
kabar dilihat dan dibaca oleh semua orang. Membuat yang lain bertanya-tanya
sebenarnya pangeran berpihak pada kerajaan mana. Mungkin sang putri dianggap
salah di mata orang lain yang tidak tahu. Mungkin dianggap sudah tidak berarti
lagi namun masih saja mengganggu, dianggap bukan siapa-siapa namun masih saja selalu
ada. Dipandang sebagai putri yang tak bisa melihat apa yang pangeran pilih, tak
bisa menerima keputusan pangeran, seakan dirinya terus yang memberi bayang-bayang.
Mungkin selama ini ia dinilai seperti itu.
Selama ini ia terbata, mencoba menutup
luka dengan menjalani hidup apa adanya di istana. Menjadi seorang putri yang dianggap seolah meluncurkan senjata diam-diam hanya untuk meruntuhkan istana di sebrang
sana, membujuk pangeran untuk pulang. Kalau memang begitu, di mana hatinya? Apa
mungkin ia tega melesatkan anak panah ke tempat di mana pangeran tinggal? Tak
mungkin ia menghancurkan hidup pangeran hanya demi kekokohan istana pribadinya.
Meskipun pada awalnya istana tersebut dibangun bersama oleh dirinya dan sang
pangeran. Masalahnya, dunia memandang lain dan hal ini yang sering membuat ia
menangis sepanjang malam. Ia tak pernah memulai, ia diam seribu bahasa dengan
seribu rahasia. Rahasia itu, ucapan dan perangai pangeran yang tak ia tunjukkan
di kerajaan barunya. Andai saja mereka tahu, andai saja mereka tahu.
Beberapa musim berlalu, meski terpisah
jarak dan waktu, sang pangeran nampaknya masih terasa selalu hadir dalam
kehidupan sang putri. Namun, masa telah mengubah semuanya. Sang putri menjaga
utuh istananya sendiri, berdiri tegak menjaga pertahanan. Entahlah pangerannya
sedang berperang atau berlayar di benua mana. Masih terasa sayatan di hati kecilnya.
Sampai kapan pun dunia tidak akan pernah tahu jika tak putri beri tahu bahwa pangeran
kerap mengirimkan pesan rahasia, kertas hitam dengan tinta hitam di dalamnya,
membuat semua orang tak bisa membacanya kecuali sang putri sendiri. Di sana
pangeran tulis nama sang putri dengan hati-hati. Di sana, di mana semua dilema
berakar. Di sana luka menganga, “mengapa pangeran lakukan ini atas nama cinta?”.
Sang putri sudah tak peduli akan apa yang dikatakan oleh dunia tentangnya,
sebab ini semua memang tak mudah dijelaskan. Tak perlu mencari kebenaran meskipun
terasa seperti korban. Orang-orang di luar sana tak akan sepenuhnya mengerti,
dunia tak harus tahu semuanya. Hatimu yang paling tahu. Mungkin tak bisa
diamati oleh mata, dicerna oleh pikiran, namun pasti bisa dirasakan oleh hati.
Pedang itu adalah asa, entah masih setia
menemani pangeran atau tidak. Yang pasti ketika menggenggamnya, semua rasa
takut bisa memudar perlahan, sebab harapan
adalah satu-satunya hal yang lebih baik dari rasa takut. Ketika kita takut,
mungkin kita telah meluruhkan asa atau harapan yang ada. Sebaliknya ketika kita
berharap, kita pasti bisa meluruhkan rasa takut. Karena memiliki harapan sama dengan
memiliki keberanian. “Pangeran, semoga pedang itu melindungimu di mana pun kamu
berada. Harapanmu adalah keberanianmu, hidupmu adalah pilihanmu. Kamu hanya
perlu jujur, sejujur-jujurnya, pada dirimu, pada hatimu sendiri. Bangun
kerajaan terbaikmu,” ucap sang putri dalam hati, di bawah ribuan bintang dan
dibalut dinginnya malam. Sesungguhnya mereka berdua adalah asa, mereka berdua adalah luka.
PR, 25 Januari 2018.
Komentar
Posting Komentar