Rumah Rahasia
Malam
ini, ada pertentangan dalam hati. Aku melawan egoku, aku melawan sakit hati.
Sejak melangkahkan kaki keluar rumah tadi pagi, aku sudah bertekad kuat, aku
akan berangkat. Niat ini muncul sejak lama. Seolah tak menggubris kabar-kabar
darinya, niat ini tak terlaksana. Aku hanya memanjatkan doa selama ini. Padahal
mengetahui bahwa sosok yang amat dicintainya itu sedang dalam masa-masa kritis,
hatiku menangis. Pilu tiap kali melewati salah satu bangunan di ibu kota itu,
dimana beliau terbaring lemah dan anak-anaknya begitu setia menemani disana.
Bukan pura-pura tidak tahu. Aku hanya tak mampu. Ini bukan hal baru bagiku.
Bertahun-tahun yang lalu, ketika semuanya masih terasa sempurna, aku disana.
Menyaksikan perjalanan seorang wanita tegar sejak semuanya masih baik-baik
saja. Hingga sekarang, begitu banyak yang telah ia lalui. Kembali ke bangunan
itu tidak hanya sekali. Dan meskipun keadaan kini sungguh telah berbeda, aku
masih disana. Tak pernah lepas kabar darinya meski aku tak meminta. Aku
diizinkan untuk tahu, aku diizinkan untuk masuk ke dalam kecemasan seorang anak
laki-laki yang tidak ingin kehilangan seseorang yang ia sebut mama.
Malam
ini, ada pertentangan dalam hati. Aku melawan egoku, aku melawan sakit hati.
Beberapa hari sebelumnya, telah ku pikirkan matang-matang. Akankah ini menjadi
langkah yang salah? Aku takut keputusanku malah menjadi masalah. Apa aku bisa?
Apa aku akan setegar mamanya? Lama sekali kami tak bersua, entah karena saling
tak kuasa, atau memang Tuhan tak beri celah untuk berjumpa. Aku pikirkan lagi,
aku renungkan. Seharusnya rasa sayang yang katanya tulus tidak berhenti hanya
karena itu. Seharusnya apa yang telah terjadi tidak pernah menyurutkan niat
untuk menjenguknya. Namun aku hanya anak manusia yang walau katanya kejadian pahit
itu telah ku maafkan, tetap saja tak bisa ku lupakan. Lalu, apa yang aku
lakukan selanjutnya? Aku pulang ke arah yang berbeda dari arah menuju rumahku.
Atmosfir itu mulai terasa. Atmosfir dimana keyakinan muncul bahwa malam ini pertemuan
itu akan ada. Petang sebelum melangkah, aku bersimpuh di suatu tempat. Tempat
yang paling menyejukkan hati. Aku sering menyendiri di sini dan tempat ini
sering menjadi saksi bisu ketika perasaanku tak menentu. Tak banyak orang tahu
bahwa tempat ini menjadi salah satu yang selalu aku tuju untuk mengadukan
sesuatu. Aku memantapkan hati. Aku memaknai hari ini sebagai suatu battle. Dari sekian banyak battle, aku harap dan aku rasa ini akan
jadi yang terakhir atau bahkan yang terberat. Aku harap dan aku ingin setelah
ini semuanya akan kembali ke titik awal. Aku sendiri yang memulai battle untuk hari ini. Aku tak bisa
menahannya lagi. Aku harus pergi kesana, pikirku. Meskipun semua terasa serba
salah tapi sesungguhnya aku tak bisa. Logika mungkin berkata tidak, namun hati
memaksa untuk bertindak. Karena cinta tidak hanya sebatas kata. Petang tadi
setelah mengucap salam, ada yang terjatuh di pipi, kemudian aku berkata pada diriku
sendiri, “Aku akan ikhlas”.
Malam
ini, ada pertentangan dalam hati. Aku melawan egoku, aku melawan sakit hati.
Sampai akhirnya aku tiba di rumah itu. Seseorang menyapa dari jauh, “Hallooo”,
katanya. Aku menoleh hanya untuk membalas dengan senyum. Kemudian kami masuk ke
rumah itu. Aku ingat betul pertama kali aku menapakkan kaki di sana, meski begitu sampai detik ini aku tidak ingat berapa kali aku pernah berkunjung kesana. Kala itu
aku bukan siapa-siapa selain teman, tapi sambutan mamanya begitu hangat. Aku tidak
sering berkunjung, tapi setiap pertemuannya selalu terasa hangat. Malam ini, masuk lah aku
ke suatu ruangan dimana aku mendapati sosok yang sangat aku kagumi dan tentunya
aku sayangi itu sedang terbaring. Aku tak bisa menggambarkan bagaimana
perasaanku. Ia tak pernah menggenggam tanganku seerat ini, begitu erat. Kedua
tangannya hangat, tatapan matanya hangat, suara lembutnya hangat, dan tentu
sambutannya selalu hangat. Kami melepas rindu. Aku memberi tahu alasan mengapa aku tak pernah
datang, tapi ia tetap tidak tahu alasan lain yang sesungguhnya menahanku untuk
tiba di rumah itu lagi. Melihat kondisinya, aku tak bisa menjabarkan bagaimana
perasaanku. Aku senang aku kembali. Aku senang bertemu dengannya lagi. Teringat
video yang anaknya kirimkan beberapa pekan lalu, yang masih aku simpan sampai
sekarang, sebab caranya menyebutkan namaku dengan kondisinya yang seperti itu
hanya... terlalu indah. Aku tak ingin menghapusnya. Lekas sembuh ya bu, ibu sabar,
dan ibu kuat.
Malam
ini, ada pertentangan dalam hati. Aku melawan egoku, aku melawan sakit hati.
Tetap aku tidak boleh goyah. Aku datang hanya untuk meluruskan niatku,
menyempurnakan rasa kasih dan sayang yang telah aku bangun bertahun-tahun
untuknya dan untuk keluarganya. Setelah menemui mamanya, aku dan ia berbincang
seadanya di ruang tamu. Ia tidak berubah, gitar itu masih selalu ia mainkan
di hadapanku bahkan ketika aku sedang bercerita. Akhirnya aku jujur. Karena jika
malam ini ingin aku maknai sebagai last battleku, maka aku harus jujur. Alasan lain mengapa aku baru bisa menemui mamanya pun
terlontar. Aku bilang, semuanya hanya karena masih terasa berat. Aku butuh
waktu. Semoga setelah berbicara seperti tadi ia mau sedikit mengubah
pandangannya terhadapku, bahwa sungguh aku selalu peduli namun aku perlu
mengasihi diriku sendiri. Dan tentu aku begitu sebagai dampak dari apa yang
telah ia lakukan padaku. Sekarang semua sudah jauh lebih baik, jadi aku
memberanikan diri untuk kembali ke rumah itu lagi. Namun aku tidak ingin
berlama-lama. Setelah adzan isya berkumandang, aku ingin pulang. Aku ingin melaksanakan
shalat dulu disana. Ah, rumah itu. Setiap sudutnya masih familiar di kepalaku.
Aku berjalan ke belakang untuk mengambil wudhu. Setelah itu aku masuk ke
ruangan bekas kamar mamanya. Dulu aku pun pernah shalat disana, ketika mama
masih tidak selemah ini. Di tempat tidurnya terhampar beberapa buku Andrea
Hirata. Dulu aku shalat menggunakan mukenanya. Bayangan itu lenyap seketika aku
melihat anak mama menggelarkan sajadah untukku. “Terima kasih,” ucapku.
Kemudian ia keluar dan menutup pintu. Aku dibiarkan sendiri.
Malam
ini, ada pertentangan dalam hati. Aku melawan egoku, aku melawan sakit hati.
Aku telah membiasakan diri jauh sebelum hari ini. Aku tahu apa yang harus dan
akan aku lakukan setelah semuanya terjadi dan merubah hidup kami. Aku hanya tak
bisa menghentikan setiap kenangan tiap kali ia datang. Ku rasa tugasku hanya
perlu membenahi apa yang seharusnya dibenahi, dan aku sudah tahu itu semua. Aku
belajar dan aku lakukan sampai dengan sekarang. Ketika dibiarkan sendiri untuk
menegakkan shalat di salah satu ruangan rumah itu, ada air mata yang tak
terbendung. Aku terisak sejak mulai takbir pertama. Dan untuk pertama kalinya,
di rumah itu, aku menangis tanpa ada yang tahu. Aku takut, aku malu kalau
rintihanku terdengar keluar. Selepas shalat aku segera menyeka deras air
mataku. Kesedihan dan doaku malam ini karena seorang mama yang aku panggil ibu,
dan karena rumah yang pernah aku singgahi dulu. Dalam sujud aku berbisik lirih,
“Aku ikhlas”. Ada rumah dalam rumah
itu. Aku berusaha untuk mengimplisitkan semuanya sejak menulis huruf pertama
dalam tulisan ini, tapi ternyata sulit. Mungkin bagi mereka yang pernah tahu dan membaca kisahku akan mudah menyimpulkan tulisan ini tentang apa dan tentang siapa. Tak apa lah,
terkadang kita perlu untuk berbagi kisah pilu agar bisa ditarik apa hikmah di
dalamnya. Mungkin aku dan dia sudah cukup dewasa untuk bijak dalam membuat
keputusan dan menentukan pilihan. Mungkin. Kami punya orientasi pribadi atau
bahkan rencana rahasia yang orang lain tidak perlu untuk peduli. Tak dapat
disangkal, ia dan keluarganya telah membawa banyak hal baru dalam hidupku. Ia
dan keluarganya memberikan pengaruh dalam hidupku, mampu mengubah hidupku.
Sebab apa? Banyak cerita dan pelajaran berharga yang aku temukan di sana. Tak
pernah menyesal telah mengenal ia dan keluarganya. Apa yang telah aku lalui
sejauh ini menuntutku untuk belajar bahwa cinta tidak harus memiliki, cinta itu memberi, cinta itu tulus, cinta itu ikhlas. Dan ini semua bukanlah akhir, belum
saatnya untuk merangkul cinta sejati. Apa yang telah aku lalui sejauh ini
menuntunku untuk belajar bahwa aku perlu menjaga hati, aku harus menjaga diri, mendekatkannya
hanya pada sang ilahi hingga saatnya tiba nanti. Aku sudah sampai pada
pemahaman bahwa mencintai seseorang itu berarti menjaganya. Mencintai seseorang
itu berarti mendoakan kebaikan untuknya. Mencintai seseorang itu
berarti melepaskannya. Hal ini membuatku tersadar bahwa apa yang telah ia
lakukan padaku selama ini tidak sepenuhnya salah. Di saat ia pun harus melawan
dirinya sendiri, dia memilih untuk menyayangiku dengan cara lain. Mungkin orang
lain tidak banyak yang mengerti atau bahkan tidak akan pernah mengerti, tapi aku yang
rasakan. Jangan khawatir, kata-kata mereka tak mampu membeli apa yang telah aku dan kamu lalui. Terima kasih banyak telah menjaga dan mencintaiku dengan
caramu.
Entah
rumah ini atau rumah yang lain. Aku yakin bahwa Allah akan bukakan pintu rumah
terbaik. Allah yang Maha Tahu, Ia yang menentukan ke rumah mana kita akan
pulang. Meski melakukannya tidak semudah menuliskan dan mengucapkannya, tapi aku
berani bilang dan percaya bahwa jalan keluar terindah untuk semua ini adalah: ikhlas.
Komentar
Posting Komentar