Short Story: Kotak Dari Masa Lalu
Apa yang telah ku lakukan lima tahun terakhir ini? Membohongi diriku sendiri. Tidak kah ada jalan keluar untuk berhenti menyiksanya? Aku telah mencoba, bahkan sempat menemukan jalan itu dan ada yang ingin membantuku untuk keluar, namun apa hasilnya? Sesungguhnya aku tak bisa. Aku terlalu lama berada disini, mencintai jalan yang dibuntukan oleh seseorang yang dulunya berjalan di jalan yang sama, bersamaku. Dia memegang kendali cukup besar, menjajikanku sebuah pelangi dan cahaya-cahaya terang di ujung jalan, aku tak ingin melepaskannya karena hanya dia yang ku rasa mampu menemaniku di jalan ini. Jika dia pergi lebih dulu, aku kehilangan peta hidupku, aku akan tersesat. Dan kini, semua itu terjadi.
“Pada akhirnya kau akan menemukan rumah terbaik untuk pulang.”
“Aku sudah menemukannya.”
“Silahkan berlayar lagi.”
“Aku sudah menemukannya”
“Silahkan terjang ombak-ombak di lautan.”
“Aku sudah menemukannya.”
“Silahkan berlayar dan jangan menyesal jika tersesat.”
“Aku tidak tersesat. Jika aku memegang sebuah kompas, utaranya itu pasti menunjuk ke arahmu, Sha. Arah panahnya tak pernah salah.”
“Lalu sekarang kamu hanya ingin menyampaikan bahwa dulu kompasmu sempat rusak dan arah panahnya berbelok ke Timur? Selatan? Atau Barat?”
“Arah panahnya tepat, namun pemegang kompas itu yang salah, salah besar.”
“Kau simpan baik-baik kotak itu, sematkan lingkaran berliannya di jari manis seseorang yang terbaik untukmu nanti. Yang rela menunggumu selama kamu berlayar, dekat atau jauh, selalu ada untuk menyambutmu saat pulang.”
“Itu kamu, Sha. Itu kamu.”
Aku pun memberanikan diri untuk memalingkan wajahku tepat di hadapan wajahnya. Ku tatap matanya yang mulai berkaca-berkaca, dia tak dapat membendung perasaan bersalahnya. Ku lihat penyesalan yang luar biasa disana.
“Bukan aku, Vin. Aku tak ahli menahan rindu, aku terlalu lemah untuk menunggu, tak cukup kuat untuk menjadi yang terbaik.”
“Katakan padaku bahwa selama ini kau masih mencintai lelaki bodoh sepertiku, Sha. Katakan!” pertanyaan yang sangat tajam yang pasti kau tahu jawabannya, 'iya'. “Kau tersiksa dengan rasa rindumu, tapi kau mampu mengobatinya sendiri. Kau lelah berjalan tanpa arah, tapi kau bangkit untuk mencari jalan keluar. Kau terluka, Sha, sangat parah, tapi kau sangat kuat. Maafkan aku, maaf.” lanjut Kevin, kemudian menundukan kepalanya dan menangis sesenggukan.
Aku terdiam, tak ada kata yang ingin ku lontarkan. Padahal selama ia pergi, jutaan kalimat telah ku rangkai percuma, berharap tersampaikan dan terasa olehnya, namun setelah sosoknya ada di hadapan mata, aku buang kesempatan yang ada. Mungkin rasa kecewa ini sudah berubah menjadi amarah yang tak terhingga. Menyesali kejadian di masa lalu, mencoba melewatkan halamannya namun sudah terlanjur terbaca, dan aku tak akan pernah lupa. Masa lalu yang jahat, yang sulit termaafkan. Tapi kembali lagi ku bertanya pada hati ini “siapkah kau untuk ku bohongi lagi?” sambil bangkit dari duduk dan segera meninggalkan hamparan bunga indah beserta Kevin yang masih tertunduk. Aku melanjutkan langkahku sambil meneteskan air mata, Kevin tak perlu melihatnya. Saat itu juga ruang hatiku yang lain menjawab “siap”. Ya, aku pergi, mungkin aku juga akan menyesal meninggalkannya disini, karena aku masih sangat mencintainya. Namun aku yakin pasti ada jalan lain untuk bahagia.
Belum melangkah terlalu jauh, ku dengar sesuatu dilempar kencang dari daratan ke tengah danau. Dia membuangnya sambil berteriak. Kotak kecil yang menawarkan masa depan, yang terbawa oleh pahitnya kenangan masa lalu. Kotak kecil yang tak berguna. Aku melangkah terus tanpa peduli seseorang yang ku tinggalkan di belakang. Tak mau aku berpaling muka untuk sekedar melihat keadaan terakhirnya. Aku melangkah terus hingga isak tangisnya tak terdengar lagi. Aku melangkah terus, dan akan melangkah terus. Tak ingin terusik oleh kisah lama yang merajut banyak luka. Pahamilah, rumah akan semakin “rumah” setelah ditinggalkan, dan cinta akan semakin “cinta” setelah kehilangan.
“She wasn’t my everything til we were nothing, and it’s taking me a lot to say. But now that she’s gone, my heart is missing something. So, it’s time I push my pride away. Cause she’s my everything.” – Kevin (Queensland, August 30, 2015)
PR
Komentar
Posting Komentar